PRAKATA
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah AIKA 3, yang
berjudul Muhammaddiyah dan pemberdayaan perempuan.
Makalah
ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas bidang study AIKA 3 semester III
yang dibimbing oleh bapak Nani Abdul Gani M.PD.
Diakui dengan penuh kesadaran, bahwa dalam pembuatan
makalah ini tentu masih banyak kekurangan baik dari segi isi, maupun
sistematika. Karena itu kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah yang akan kami susun selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami
dan para mahasiswa, sehingga memiliki dasar-dasar kependidikan yang lengkap
dalam menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa yang dapat membimbing diri sendiri
serta orang lain untuk mengembangkan diri yang optimal. Amin,
Tangerang,
Desember 2015
DAFTAR
ISI
PRAKATA 1
DAFTAR
ISI 2
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang 3
B.Rumusan
masalah 3
C.Tujuan
makalah 3
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Cara K.H Ahmad Dahlan Memberdayakan Perempuan 4
B.Kesetaraan Gender Dalam Muhamddiyah 17
C.Peran Perempuan Muhammaddiyah Di Kehidupan Berbangsa
&Bernegara 20
BAB
III
PENUTUP
A.Simpulan 27
B.Penutup 28
C.Daftar pustaka 28
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ajaran agama Islam
tidak memperkenankan mengabaikan wanita.
Mengingat pentingnya peranan wanita yang harus mendapatkan tempat yang
layak, Kyai Dahlan bersama-sama KHA.
Dahlan mendirikan kelompok pengajian wanita yang anggotanya terdiri para gadis-gadis dan orang-orang wanita yang
sudah tua.Dalam perkembangannya, kelompok pengajian wanita itu diberi nama Sapa
Tresna.
Sapa Tresna belum merupakan
organisasi, hanya suatu gerakan pengajian saja. Oleh karena itu,untuk
memberikan suatu nama yang kongkrit menjadi suatu perkumpulan, K.H.
Mokhtarmengadakan pertemuan dengan KHA. Dahlan yang juga dihadiri oleh H. Fakhrudin dan Ki Bagus
Hadikusumo serta pengurus Muhammadiyah lainnya di rumah Nyai Ahmad Dahlan.
Awalnya iusulkan nama Fatimah, untuk
orga- nisasi perkumpulan kaum wanita Muhammadiyah itu, tetapi nama itu tidak diterima oleh rapat.
Haji Fakhrudin kemudian
mengusulkan nama Aisyiyah yang kemudian diterima
oleh rapat tersebut. Nama Aisyiyah dipandang lebih tepat bagi gerakan wanita
ini karena didasari pertimbangan bahwa perjuanganwanita yang akan
digulirkan ini diharapkan dapat meniru
perjuangan Aisyah, isteri Nabi Muhammad, yang selalu membantu Rasulullah
dalam berdakwah.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal mula berdirinya Aisyiyah?
2. Apa saja visi dan misi Aisyiyah?
1. Bagaimana asal mula berdirinya Aisyiyah?
2. Apa saja visi dan misi Aisyiyah?
C.Tujuan Makalah
1. Mengetahui asal mula berdirinya Aisyiyah
1. Mengetahui asal mula berdirinya Aisyiyah
2.
Mengetahui visi dan misi Aisyiyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. CARA
K.H AHMAD DAHLAN MEMBERDAYAKAN PEREMPUAN
Akar berdirinya Aisyiyah tidak bisa dilepas kan
kaitannya dari akar sejarah. Spirit berdirinya Muhammadiyah telah mengilhami
berdirinya hampir seluruh organisasi otonom yanga da di muhammadiyah, termasuk
Aisyiyah. Sejak mendirikan Muhammadiyah, Kiai Dahlan sangatmemperhatikan
embinaan terhadap wanita. Anak-anak perempuan yang potensial dibina dan
dididikmenjadi pemimpin, erta dipersiapkan untuk menjadi pengurus dalam
organisasi wanita dalam Muhammadiyah. Di antara
ereka yang dididik Kiai Dahlan ialah Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti
Dalalah, Siti- Busyro (putri beliau
endiri), Siti Dawingah, dan Siti Badilah Zuber.
Anak-anak
perempuan itu (meskipun usianya baru
ekitar 15 tahun) sudah diajak memikirkan soal-soal kemasyarakatan.
Sebelum Aisyiyah secara kongkret
erbentuk, sifat gerakan pembinaan wanita itu baru merupakan kelompok
anak-anak perempuan yang enang
berkumpul, kemudian diberi bimbingan oleh KHA Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan
dengan elajaran agama. Kelompok anak-
anak ini belum merupakan suatu organisasi, tetapi kelompok anak-a nak ang diberi pengajian. Pendidikan dan
pembinaan terhadap wanita yang usianya sudah tua pun ilakukan juga oleh Kiai
Dahlan dan istrinya (Nyai Dahlan). Ajaran agama Islam tidak memperkenankan mengabaikan wanita. Mengingat pentingnya
peranan wanita yang harus mendapatkan tempat yang layak, Kyai Dahlan bersama-sama KHA. Dahlan
mendirikan kelompok pengajian wanita yang anggotanya terdiri para gadis-gadis dan orang-orang wanita yang
sudah tua.Dalam perkembangannya, kelompok pengajian wanita itu diberi nama Sapa
Tresna.
Sapa Tresna
belum merupakan organisasi, hanya suatu gerakan pengajian saja. Oleh karena
itu,untuk memberikan suatu nama yang kongkrit menjadi suatu perkumpulan, K.H.
Mokhtarmengadakan pertemuan dengan KHA. Dahlan yang juga dihadiri oleh H. Fakhrudin dan Ki Bagus
Hadikusumo serta pengurus Muhammadiyah lainnya di rumah Nyai Ahmad Dahlan.
Awalnya iusulkan nama Fatimah, untuk
orga- nisasi perkumpulan kaum wanita Muhammadiyah itu, tetapi nama itu tidak diterima oleh rapat.
Haji Fakhrudin kemudian mengusulkan nama Aisyiyah
yang kemudian diterima oleh rapat
tersebut. Nama Aisyiyah dipandang lebih tepat bagi gerakan wanita ini
karena didasari pertimbangan bahwa perjuanganwanita yang akan
digulirkan ini diharapkan dapat meniru
perjuangan Aisyah, isteri Nabi Muhammad, yang selalu membantu Rasulullah
dalam berdakwah. peresmian Aisyiyah dilaksanakan bersamaan peringatan Isra'
Mi'raj Nabi Muhammad pada tanggal 27
rajab 1335 H, bertepatan 19 Mei 1917 M. Peringatan Isra' Mi'raj tersebut
merupakan peringatan yang diadakan Muhammadiyah untuk pertama kalinya. Selanjutnya, K.H. Mukhtar
memberi bimbingan administrasi dan organisasi, sedang untuk bimbingan jiwa
keagamaannya dibimbing langsung oleh KHA. Dahlan.
Pesan Kiyai Dahlan setelah kepengurusan Aisyiyah
secara resmi terbentuk ialah sebagai berikut:
1. Dengan keikhlasan hati menunaikan tugasnya sebagai wanita Islam sesuai dengan bakat
dan percakapannya, tidak menghendaki
sanjung puji dan tidak mundur selangkah
karena dicela.
2. Penuh keinsyafan, bahwa beramal itu harus berilmu.
3. Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah oleh Tuhan Allah hanya untuk menghindari suatu tugas yang diserahkan.
4. Membulatkan tekad untuk membela kesucian agama Islam. 5. Menjaga persaudaraan dan kesatuan kawan sekerja dan peperjuangan Pada tahun 1919, dua tahun setelah berdiri, Aisyiyah merintis pendidikan dini untuk anak-anak dengan nama Frobel, yang merupakan Taman Kanan-Kanak pertama kali yang didirikan oleh
2. Penuh keinsyafan, bahwa beramal itu harus berilmu.
3. Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah oleh Tuhan Allah hanya untuk menghindari suatu tugas yang diserahkan.
4. Membulatkan tekad untuk membela kesucian agama Islam. 5. Menjaga persaudaraan dan kesatuan kawan sekerja dan peperjuangan Pada tahun 1919, dua tahun setelah berdiri, Aisyiyah merintis pendidikan dini untuk anak-anak dengan nama Frobel, yang merupakan Taman Kanan-Kanak pertama kali yang didirikan oleh
bangsa Indonesia. Selanjutnya Taman kanak-kanak ini
diseragamkan namanya menjadi TK Aisyiyah Bustanul Athfal yang saat ini telah
mencapai 5.865 TK di seluruh Indonesia.
Gerakan pemberantasan kebodohan yang menjadi salah
satu pilar perjuangan Aisyiyah dicanangkan dengan mengadakan pemberantasanbuta
huruf pertama kali, baik buta huruf arab
maupun latin pada tahun 1923. Dalam kegiatan ini para peserta yang terdiri dari para gadis
dan ibu- ibu rumah tangga belajar bersama dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan peningkatan
partisipasi perempuan dalam dunia publik. Selain itu, pada tahun 1926, Aisyiyah
mulai menerbitkan majalah organisasi yang diberi nama Suara Aisyiyah, yang awal
berdirinya menggunakan Bahasa Jawa.
Melalui majalah bulanan inilah Aisyiyah antara lain mengkomunikasikan semua program dan kegiatannya
termasuk konsolidasi internal organisasi.
Dalam hal pergerakan kebangsaan,
Aisyiyah juga termasuk organisasi yang turut memprakarsai dan membidani
terbentuknya organisasi wanita pada tahun 1928. Dalam hat ini, Aisyiyah bersama
dengan organisasi wanita lain bangkit berjuang untuk membebaskan bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Badan federasi ini diberi
nama Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI (Kongres Wanita
Indonesia). Lewat federasi ini berbagai usaha dan bentuk perjuangan bangsa
dapat dilakukan secara terpadu.
Aisyiyah
berkembang semakin pesat dan menemukan bentuknya sebagai organisasi wanita
modern. Aisyiyah mengembangkan berbagai program untuk pembinaan dan pendidikan
wanita. Diantara aktivitas Aisyiyah ialah Siswa Praja Wanita bertugas membina
dan mengembangkan puteri- puteri di luar sekolah sebagai kader Aisyiyah. Pada
Kongres Muhammadiyah ke-20 tahun 1931 Siswa Praja Wanita diubah menjadi
Nasyi'atul Aisyiyah (NA). Di samping itu, Aisyiyah juga mendirikan Urusan
Madrasah bertugas mengurusi sekolah/ madrasah khusus puteri, Urusan Tabligh
yang mengurusi penyiaran agama lewat pengajian, kursus dan asrama, serta Urusan
Wal'asri yang mengusahakan beasiswa untuk siswa yang kurang mampu. Selain itu,
Aisyiyah pada tahun 1935 juga mendirikan Urusan Adz-Dzakirat yang bertugas
mencari dana untuk membangun Gedung 'Aisyiyah dan modal mendirikan koperasi.
Perkembangan
Aisyiyah selanjutnya pada tahun 1939 mengalami titik kemajuan yang sangat
pesat. Aisyiyah menambah Urusan Pertolongan (PKU) yang bertugas menolong
kesengsaraan umum. Oleh karena sekolah-sekolah putri yang didirikan sudah
semakin banyak, maka Urusan Pengajaran pun didirikan di Aisyiyah. Di samping
itu, Aisyiyah juga mendirikan Biro Konsultasi Keluarga. Demikianlah, Aisyiyah
menjadi gerakan wanita Islam yang mendobrak kebekuan feodalisme dan
ketidaksetaraan gender dalam masyarakat pada masa itu, serta sekaligus
melakukan advokasi pemberdayaan kaum perempuan.
Perkembangan Mutakhir
Amal Usaha Aisyiyah
Menjelang seabad
gerakannya, Aisyiyah saat ini telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah Aisyiyah
(setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2.332
Pimpinan Cabang Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6.924 Pimpinan Ranting
Aisyiyah (setingkat Kelurahan).
Selain itu, Aisyiyah
juga memiliki amal usaha yang bergerak di berbagai bidang, yaitu: pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Amal
usaha Aisyiyah bidang pendidikan saat ini berjumlah 4.560, terdiri dari
Kelompok Bermain, Taman Pengasuhan Anak, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan Pendidikan Tinggi.
Sedangkan
amal usaha bidang Kesehatan berupa Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Badan Kesehatan
Ibu dan Anak, Balai Pengobatan dan Posyandu secara keseluruhan berjumlah 280
yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Sebagai gerakan yang peduti terhadap kesejahteraan sosial
masyarakat, Aisyiyah hingga kini memiliki 459 amal usaha seperti Rumah Singgah
Anak Jalanan, Panti Asuhan, lembaga Dana Santunan Sosial, tim Pangrukti Jenazah
dan Posyandu.
Aisyiyah
berpendirian bahwa harkat martabat perempuan Indonesia tidak akan meningkat
tanpa peningkatan kemampuan ekonominya. Oleh karena itu, Aisyiyah mengembangkan
berbagai amal usaha pemberdayaan ekonomi ini datam bentuk koperasi (termasuk
koperasi simpan pinjam), Baitul Mal wa Tamwil, toko/kios, Bina Usaha Ekonomi
Keluarga Aisyiyah (BUEKA), home industri, kursus ketrampilan dan arisan. Jumlah
amal usaha di bidang ini mencapai 503 buah.
Aisyiyah juga mengembangkan beragam
kegiatan berbasis pemberdayaan masyarakat khususnya dalam bidang peningkatan
kesadaran kehidupan bermasyarakat. Hingga saat ini amal usaha yang mencakup
pengajian, Qoryah Thayyibah, Kelompok Bimbingan Haji (KBIH), badan zakat infaq
dan shodaqoh serta musholla berjumlah 3.785.
Identitas, Visi dan Misi
Identitas
Aisyiyah,
organisasi perempuan Persyarikatan Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam
dan dakwah amar makruf nahi mungkar,
yang berazaskan Islam serta bersumber pada Al-Quran dan Assunnah.
Visi ideal
Tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.
Visi Pengembangan Tercapainya usaha-usaba Aisyiyah
yang mengarah pada penguatan dan
pengembangan dakwah amar makruf
nahi mungkar secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani, yakni
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Misi
Misi Aisyiyah
diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program dan kegiatan meliputi:
1.
Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan
pengamalan serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan.
2. Meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita sesuai dengan ajaran Islam.
3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkaian
terhadap ajaran Islam.
4. Memperteguh iman, memperkuat dan menggembirakan
ibadah, serta mempertinggi akhlak.
5. Meningkatkan semangat ibadah, jihad zakat, infaq,
shodaqoh, wakaf, hibah, serta membangun dan memelihara tempat ibadah, dan amal
usaha yang lain.
6. Membina AMM Puteri untuk menjadi pelopor,
pelangsung, dan penyempurna gerakan
Aisyiyah.
7. Meningkatkan pendidikan, mengembangkan
kebudayaan, mempertuas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menggairahkan
penelitian.
8. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah
perbaikan hidup yang berkualitas.
9. Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam
bidang-bidang sosial, kesejahteraan
masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup
10. Meningkatkan dan mengupayakan penegakan hukum,
keadilan, dan kebenaran serta memupuk
semangat kesatuan dan persatuan bangsa.
11. Meningkatkan komunikasi,ukhuwah, kerjasama di
berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.
12. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi.
Jaringan Kerjasama
Sejak
berdiri, Aisyiyah telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik di dalam
maupun di uar negeri. Pada masa pergerakan nasional, kerjasama lebih ditujukan
untuk menjalin semangat persatuan untuk perjuangan melepaskan bangsa Indonesia
dari belenggu penjajahan. Pada tahun 1928, Aisyiyah menjadi salah satu pelopor
berdirinya badan federasi organisasi
wanita Indonesia yang sekarang dikenal dengan nama Kongres Wanita indonesia
(KOWANI)
Beberapa lembaga baik pemerintah maupun non
pemerintah pernah menjadi mitra kerja Aisyiyah
datam rangka kepentingan sosial bersama, antara lain: Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK), Peningkatan Peranan Wanita untuk
Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS),
Dewan Nasional Indonesia untuk
Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Yayasan Sayab Ibu, Badan Musyawarah Organisasi
Islam Wanita Indonesia (BMOlWI) dan
Majetis Ulama Indonesia (MUI).
Selain itu, Aisyiyah juga melakukan kerjasama dengan lembaga dari luar negeri dalam
rangka kesejahteraan sosial, program
kemanusiaan, sosialisasi, kampanye, seminar, workshop, melengkapi prasarana amal usaha, dan lain-lain.
Diantara lembaga dari luar negeri yang
pernah bekerjasama dengan Aisyiyah
adalah: Oversea Education Fund (OEF),
Mobil Oil, The Pathfinder Fund, UNICEF,
UNESCO,WHO, John Hopkins University, USAID, AUSAID, NOVIB, The New Century Foundation,
The Asia Foundation, Regional Islamicof
South East Asia Pasific, World
Conference of Religion and Peace, UNFPA,
UNDP, World Bank, Partnership for
Governance Reform in Indonesia, beberapa kedutaan besar negara sahabat, dan lain-tain.
Program Pemberdayaan Ekonomi
Sebagai organisasi perempuan yang bergerak datam bidang keagamaan dan
kemasyarakatan, Aisyiyah diharapkan
mampu menunjukkan komitmen dan kiprahnya untuk memajukan kehidupan masyarakat khususnya dalam pengentasan
kemiskinan dan ketenagakerjaan.
Dengan visi
"Tertatanya kemampuan organisasi dan jaringan aktivitas pemberdayaan
ekonomi keluarga untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat", Majetis Ekonomi Aisyiyah bergerak memberdayakan ekonomi rakyat kecil dan
menengah serta mengembangkan ekonomi
kerakyatan.
Beberapa
program pemberdayaan itu antara lain:
mengembangkan Bina Usaha Ekonomi Keluarga Aisyiyah (BUEKA) dan Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM). Saat ini Aisyiyah memiliki dan membina Badan Usaha Ekonomi sebanyak 1426 buah di
Wilayah, koperasi, pertanian, industri
rumah tangga, pedagang kecil/toko dan
pembinaan ekonomi keluarga.
Kesehatan
Dengan misi sebagai penggerak terwujudnya masyarakat dan lingkungan hidup yang
sehat, Aisyiyah mengembangkan pusat
kegiatan pelayanan dan peningkatan mutu
kesehatan masyarakat serta pelestarian
lingkungan hidup metalui pendidikan.
Saat ini Aisyiyah telah mengelola dan mengembangkan 10 RSKIA (Rumah
Sakit Khusus Ibu dan Anak), 29 Klinik
Bersalin, 232 BKIA/yandu, dan 35 Balai
Pengobatan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Beberapa program kesehatan yang dikembangkan antara lain: peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan yang terjangkau di
seluruh Rumah Sakit, Rumah Bersalin,
Balai Pengobatan, Balai Kesehatan Ibu
dan Anak yang dikelota oleh Aisyiyah serta
menjadikan unit-unit kegiatan tersebut sebagai agent of development yang tidak hanya sebagai tempat mengobati orang sakit, tetapi
mampu berperan secara optimal dalam
mengobati lingkungan masyarakat.
Aisyiyah metalui Majetis Kesehatan dan Lingkungan
Hidup juga metakukan kampanye peningkatan kesadaran masyarakat dan
penanggulangan penyakit berbahaya dan menular, penanggulangan HIV/AIDS dan NAPZA, bahaya merokok dan minuman keras, dengan menggunakan
berbagi pendekatan dan bekerjasama
dengan berbagi pihak, meningkatkan
pendidikan dan perlindungan kesehatan reproduksi perempuan, menyelenggarakan
pilot project sistem pelayanan terpadu antara lembagakesehatan, dakwah sosial
dan terapi psikologi Islami.
Pendidikan
Sejalan dengan pengembangan pendidikan yang menjadi
salah satu pilar utama gerakan Aisyah metalui Majetis Pendidikan Dasar dan
Menengah serta Majetis Pendidikan Tinggi, AisyĆyah mengembangkan visi
pendidikan yang berakhlak mulia untuk umat dan bangsa.
Dengan tujuan memajukan pendidikan (formal, non
formal dan informal) serta mencerdaskan kehidupan bangsa hingga terwujud
manusia muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri
sendiri, cinta tanah air dan berguna bagi masyarakat serta diridhai Allah SWT,
berbagai program dikembangkan untuk menangani masalah pendidikan.
Saat ini Aisyiyah telah dan tengah melakukan
pengeloaan dan pembinaan terhadap: 86 Kelompok Bermain/Pendidikan Anak Usia
Dini, 5.865 Taman Kanak-Kanak, 380 Madrasah Diniyah, 668 TPA/TPQ, 2.920 IGABA,
399 IGA, 10 Sekolah Luar Biasa, 14 Sekolah Dasar, 5 SLTP, 10 Madrasah
Tsanawiyah, 8 SMU, 2 SMKK, 2 Madrasah Aliyah, 5 Pesantren Putri, serta 28
pendidikan luar sekolah. Aisyiyah jugadipercaya oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
ratusan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di seluruh Indonesia. Untuk pendidikan
tinggi, Aisyiyah memiliki 3 Perguruan Tinggi, 2 STIKES, 3 AKBID serta 2 AKPER
di seluruh Indonesia.
Selain itu, Aisyiyah juga memperhatikan masalah
kaderisasi dan pengembangan sumber daya kader di lingkungan Angkatan Muda
Muhammadiyah Putri secara integratif dan professional yang mengarah pada
penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar menuju masyarakat
madani.
PROGRAM MAJELIS
MAJELIS TABLIGH
(tabligh@aisyiyah.or.id)
Untuk merealisasikan prinsip dan tujuan dakwahnya,
Aisyiyah memiliki berbagai kegiatan dakwah yang dilaksanakan oleh Majetis
Tabligh. Majetis ini bergerak dalam urusan kajian Islam kontekstual, dakwah dan
pengamalan Islam. Dengan visi untuk menjadi organisasi dakwah yang mampu
memberi pencerahan kehidupan keagamaan untuk mencapai masyarakat madani,
Majelis Tabligh mengembangkan
gerakan-gerakan Dakwah Islam dalam seluruh aspek kehidupan, menguatkan
kesadaran keagamaan masyarakat, mengembangkan materi, strategi dan media
dakwah, serta meningkatkan kualitas mubalighat.
Beberapa program dan kegiatan yang telah dan sedang
ditindaklanjuti oleh majetis ini antara lain:
1.Pembinaan kelompok pengajian, saat ini berjumlah
sebanyak 12.149 di seluruh Indonesia.
2.Membina sebanyak 10.329 mubalighat di seluruh Indonesia.
3. Mengembangkan desa binaan sebanyak 285 di
beberapa daerah tertentu di Indonesia.
4.Sosialisasi program pembinaan Keluarga Sakinah di
Wilayah/ Daerah/ Cabang/ Ranting.
5. Menindaklanjuti dan mengembangkan program Qoryah
Thoyyibah yakni pengembangan semacam desa percontohan islami dengan
mengoptimalkan semua potensi dan sektor baik agama, pendidikan, kesehatan,
ekonomi,maupun hubungan sosial Sebagai pelaksanaan awalnya Aisyiyah telah
mengadakan proyek uji coba Qoryah Thoyyibah di dusun Mertosanan Wetan,
Potorono, Banguntapan, Bantul, DIY
sejak 1989.
6. Merevitalisasi Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ).
7. Meningkatkan usaha pencegahan sejak dini bahaya
miras, napza, demoralisasi, seks bebas, kriminalitas dan bentuk penyakit sosial
lainnya.
8. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengajian.
9. Menerbitkan buku-buku yang diperuntukkan bagi
umum maupun kalangan sendiri untuk
melengkapi kegiatan dakwah, dan lain-tain.
MAJELIS KESEJAHTERAAN SOSIAL
(kessos@aisyiyah.or.id)
Pemahaman
tentang kesejahteraan sosial yang diperjuangkan Aisyiyah adalah terciptanya
suatu kondisi ideal dari tata
kehidupan masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur, yaitu
suatukehidupan bahagia sejahtera penuh limpahan
rahmat dan nikmat Allah SWT. di dunia dan akhirat. Dengan demikian tercipta suatu titik
keseimbangan antara aspek jasmaniah dan rohaniah ataupun aspek material dan spiritual.
Sejak berdirinya, kegiatan kesejahteraan
sosialAisyiyah telah dimulai dalam bentuk membantu kaum miskin dan anak yatim.
Dalam perkembangan saat ini, program
kesejahteraan sosialAisyiyah tersistem ke dalam unit-unit kegiatan sosial
antara lain:
1. Kepedulian dan usaha-usaha pelayanan danpenyantunan
bagi kelompok masyarakat
dhuafa/miskin
2. Pengembangan dan pemberdayaan lembaga-tembaga
sosial yang dikelola oleh Aisyiyah seperti panti asuhan, panti jompo, balai
latihan, rumah singgah, dan lain-lain.
3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di
perkotaan dan pedesaan.
4. Pelayanan korban dan penanggulangan
bencana/musibah.
5. Advokasi publik yang menyangkut masalah- masalah
sosial di berbagai lapisan masyarakat.
6. Mengembangkan pola pencegahan dan pemberian
bantuan terhadap korban trafficking dan kekerasan terhadap perempuan dan anak,
dan lain-tain.
MAJELIS KESEHATAN DAN
LINGKUNGAN HIDUP
(kesling@aisyiyah.or.id)
Sebagai
organisasi sosial, masalah kesehatan dan lingkungan hidup telah menempati
posisi yangsangat serius dalam gerakan Aisyiyah. Dengan misisebagai penggerak
terwujudnya masyarakat danlingkungan hidup yang sehat, Aisyiyah
kemudianmengembangkan pusat kegiatan pelayanan dan peningkatan mutu kesehatan masyarakat serta
pelestarian lingkungan hidup metalui pendidikan.
Program-program yang dikembangkan antara lain:
1. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang
terjangkau di seluruh Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Balai Pengobatan, Balai
Kesehatan Ibu dan Anak Aisyiyah serta menjadikan unit-unit kegiatan tersebut
sebagai agent of development, tidak hanya sebagai tempat mengobati orang sakit,
tetapi mampu berperan optimal dalam mengobati lingkungan masyarakat.
2. Melakukan kampanye peningkatan keadaran
masyarakat dan penanggulangan penyakit berbahaya dan menular.
3.Penanggulangan HIV/AIDS dan NAPZA, bahayamerokok
dan minuman keras, metalui berbagai
pendekatan dan bekerjasama dengan berbagai pihak.
4.Meningkatkan pendidikan dan perlindungan kesehatan
reproduksi perempuan
5. Menyelenggarakan pilot project system pelayanan
terpadu antara lembaga kesehatan, dakwah sosial dan terapi psikologi Islami.
6.Melakukan kampanye sadar lingkungan dan pentingnya
pelestarian lingkungan hidup bagi kehidupan manusia metalui pendidikan. Saat
ini Aisyiyah telah mengelola dan mengembangkan sekurang-kurangnya 10 RSKIA
(Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak), 29 Klinik Bersalin, 232 BKIA/yandu, dan 35
Balai Pengobatan yang tersebar di seluruh Indonesia.
MAJELIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
(dikdasmen@aisyiyah.or.id)
Sejalan dengan pengembangan pendidikan yang menjadi
salah satu pilar utama gerakan Aisyiyah, majetis ini mengembangkan visi
pendidikan Aisyiyah yang berakhlak mulia untuk umat dan bangsa. Dengan tujuan
memajukan pendidikan (formal, non formal dan informal) serta mencerdaskan
kehidupan bangsa hingga terwujud manusia muslim yang bertakwa, berakhlak mulia,
cakap, percaya pada diri sendiri,cinta tanah air dan berguna bagi masyarakat
serta diridhai Allah SWT, Majetis ini mengembangkan dan menangani masalah
pendidikan dari usia pra TK sampai Sekolah Menengah Umum dan keguruan.
Saat ini majelis ini telah dan tengah melakukan
pengeloaan dan pembinaan sebanyak: 86 Kelompok Bermain/ Pendidikan Anak Usia
Dini, 5865 Taman Kanak-Kanak, 380 Madrasah Diniyah, 668 TPA/TPQ, 2.920 IGABA,
399 IGA, 10 Sekolah Luar Biasa, 14 Sekolah Dasar, 5 SLTP, 10 Madrasah
Tsanawiyah, 8SMU, 2 SMKK, 2 Madrasah Aliyah, 5 Pesantren Putri, serta 28
pendidikan Luar Sekolah. Saat ini Aisyiyahjuga dipercaya oleh
Pemerintah untukmenyelenggarakan ratusan PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini) di seluruh Indonesia.
MAJELIS EKONOMI
Sebagai organisasi perempuan yang bergerakdalam
bidang keagamaan dan kemasyarakatan, Aisyiyah diharapkan mampu menunjukkan
komitmen dan kiprahnya untuk memajukan kehidupan masyarakat khususnya dalam pengentasan
kemiskinan dan ketenagakerjaan. Dengan
visi "tertatanya kemampuan organisasi dan jaringan aktivitas pemberdayaan
ekonomi keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat", majetis
ekonomi bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat kecil dan menengah serta
pengembangan-pengembangan ekonomikerakyatan.
Beberapa program majetis ekonomi antara lain:
1. Mengembangkan Bina Usaha Ekonomi Keluarga Aisyiyah (BUEKA) dan Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM). Saat ini Aisyiyah memiliki dan membina Badan Usaha Ekonomi
sebanyak 1426 buah di wilayah,Daerah dan
Cabang yang berupa badan usaha koperasi, pertanian, industri rumah tangga,
pedagang kecil/took dan pembinaan ekonomi keluarga.
2.
Menumbuhkan dan mengembangkan koperasi serta Lembaga Keuangan Mikro yang
berbadan hokum
3. Meningkatkan partisipasi 'Aisyiyah dalam
pembelaan dan penguatan termasuk advokasi terhadap Tenaga Kerja Indonesia,
khususnya Tenaga Kerja Wanita.
4. Membangun jaringan dengan berbagai pihak dalam
rangka mengembangkan ekonomi umat
5.
Melakukan advokasi dan perlindungan konsumen, dan lain-tain.
MAJELIS PENDIDIKAN KADER
(Kontak email: mpk@aisyiyah.or.id)
Majetis ini menangani masalah kaderisasi dan pengembangan sumber daya
kader di lingkungan Angkatan Muda Muhammadiyah Putri secara integratif dan
professional yang mengarah pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf
nahi mungkar menuju masyarakat madani. Program-program yang dikembangkan oleh
majelis ini antara lain:
1. Mengembangkan system
pengkaderan yang mampu menghasilkan kader yang berkualitas. Saat ini Majetis Pembinaan Kader membina 617
instruktur, 1419 kader serta 108 kajian.
2. Peningkatan kualitas pembinaan kader baik dalam bentuk kursus, pelatihan, sekolah-
sekolah formal, maupun studi lanjut.
3. Meningkatkan kuantitas dan kualitas kader ulama perempuan, serta kader 'lintas ilmu dan
profesi' untuk penguatan gerakan Aisyiyah, dan lain-lain.
MAJELIS PENDIDIKAN TINGGI
(dikti@aisyiyah.or.id)
Sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan serta
pendidikan Aisyiyah khususnya, majetis ini bertugas untuk membina,
mengkoordinasikan Perguruan Tinggi Aisyiyah di seluruh Indonesia, serta memberikan
bahan pertimbangan guna menentukan kebijakan yang berkaitan dengan bidang
pendidikan tinggi Aisyiyah. Dengan visi "terbentuknya masyarakat muslim
yang memiliki keilmuan, keislaman dan keorganisasian dakwah
Muhammadiyah-Aisyiyah", majetis ini mengembangkan program-
program antara lain:
1. Kajian
isu-isu aktual pendidikan serta penelitan positioning PTA di masyarakat.
2. Penyusunan data base, renstra, serta Kurikulum
Berbasis Kompetensi untuk PTA.
3. Peningkatan kualitas pendidikan serta sinergi dan
kerjasama dengan berbagi pihak, dan lain-Lain.
Saat ini Majetis Pendidikan Tinggi Aisyiyah
membawahi 3 Perguruan Tinggi, 2 STIKES, 3 AKBID serta 2 AKPER di seluruh
Indonesia.
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
(lppa@aisyiyah.or.id)
Lembaga ini bertujuan untuk
meningkatkan kajian tentang masalah atau isu-isu yang berkembang, baik mengenai
organisasi maupun masalah sosial yang terkait dengan sikap perempuan dan
organisasi, seperti kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak dan
perdagangan anak, peran politik perempuan, diskriminasi gender, dan lain-lain.
Sebagai institusi yang bergerak dalam penelitian dan pengembangan yang
mendinamisasi gerakan dakwah Aisyiyah, LPPA diharapkan mampu menyediakan
dukungan data dan informasi metalui kegiatan pengkajian, penelitian dan
kegiatan pengembangan lainnya untuk mendukung pengambilan keputusan dan
kebijakan organisasi dalam mencapai visi dan tujuan Aisyiyah.
Program kerja LPPA dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni:
1. Divisi pengkajian dan penelitian: melakukan
pengkajian dan penelitian tentang keperempuanan, keagamaan, sosial, dan
organisasi dan isu-isu aktual yang terkait dengan usaha Aisyiyah untuk
2. Divisi
Basis Data: membentuk pusat data dan informasi untuk mendukung dinamika
gerakan, baik internal maupun eksternal.
3. Divisi /slamic Civil Society (ICS): terkait
dengan kegiatan pengembangan khususnya penguatan ICS melalui pendidikan
kewarganegaraan seperti meningkatkan kesadaran,wawasan dan partisipasi warga
Aisyiyah khususnya dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara menuju kehidupan yang demokratis serta berbagai kegiatan peneingkatan
kapasitas lainnya.
LEMBAGA KEBUDAYAAN
(lk@aisyiyah.or.id)
Lembaga ini terbentuk dalam rangka merespon
perubahan budaya yang berkembang dengan cepat akibat adanya perkembangan
teknologi dan informasi yang demikian
pesat. Selain untuk menjaga agar transformasi kebudayaan tersebut tetap berada
datam garis ajaran Islam, lembaga ini bertujuan untuk menggali dan memasyarakatkan
kreatifitas budaya sebagai bagian dari gerakan dakwah sehingga bisa terwujud
masyrakat Islam serta budaya islami yang sebenar-benarnya.
Program lembaga kebudayaan Aisyiyah antara lain:
1.
Meningkatkan perhatian terhadap masalah- masalah sosial budaya seperti
kesenian,perubahan budaya masyarakat termasuk gaya hidup masyarakat,
kepariwisataan dan aspek sosial budaya lainnya yang mempengaruhi perkembangan
masyarakat disertai upayapengembangan khasanah Islami.
2.
Mengimplementasikan tuntutan dakwah cultural yang tidak bertentangan dengan
ajaranIslam.
3.
Mengembangkan seni budaya religious dengan symbol-simbol yang mudah diterima masyarakat datam kerangka
dakwah Islam, diantaranya menerbitkan buku Dongeng Indah, Aisyiyah dan Seni
Pertunjukan Ekspresi Islam datam Simput Budaya.
LEMBAGA HUBUNGAN ORGANISASI, HUKUM DAN
ADVOKASI (LHOHA)
(thoha@aisyiyah.or.id)
Lembaga ini bertujuan untuk membangun dan menjalin
hubungan kerjasama dalam rangka memperluas sayap gerakan untuk mencapai tujuan organisasi.
Lembaga ini juga melakukan komunikasi dengan pihak-pihak lembaga/organisasi
lain yang dapat mendorong tercapainya visi dan misi organisasi, yang tidak
terbatas ada agama, ras, suku dan golongan. Program LHOHA diarahkan pada
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1.
Pengembangan komunikasi dan kerjasama antar organisasi dan ormas Islam
2.
Advokasi kebijakan publik untuk kepentingankeaditan masyarakat.
3.
Partisipasi pada upaya penegakan hukum dan penyusunan peraturan
perundang-undangan.
4.
Peningkatan kesadaran hukum masyarkat.
5.
Advokasi hukum dan hak asasi manusia.
6.
Pengkajian berbagai peraturan perundang- ndangan khususnya terkait
dengan hukum Islam dan masalah perempuan.
LEMBAGA HUMAS DAN PENERBITAN
(humas@aisyiyah.or.id)
Merupakan lembaga yang mengkomunikasikan segala kegiatan, program serta
kebijakan organisasi kepada pihak-pihak terkait, baik internal maupun eksternal
serta membentuk citra posistif Aisyiyah di masyarakat luas. Beberapa program
fokus kegiatan lembaga ini antara lain:
1. Publikasi dan sosialisasi program dan kegiatan
Aisyiyah termasuk opinion leader tokoh
Aisyiyah
2. Sosialisasi pencitraan positif Aisyiyah
3. Menggatang dan menjaga kerja sama dengan
stakeholder Aisyiyah baik dalam maupun luar
negeri
Selain itu lembaga ini juga membawahi divisi
penerbitan Aisyiyah, SUAR A AISYIYAH yaitu majalah bulanan yang telah terbit
sejak tahun 1926 sampai sekarang. Suara Aisyiyah adalah majalah wanita tertua
di Indonesia yang perkembangannya dapat diikuti sejak zaman kolonial Belanda,
zaman Jepang hingga zaman kemerdekaan.
Selain sebagai alat organisasi yang mempublikasikan
program-program Aisyiyah, majalah bulanan ini juga alat yang strategis dalam
memberikan perluasan pengetahuan dan penyadaran pada warga Aisyiyah khususnya
akan peran perempuan dalam dunia domestik dan publik.
B. KESETARAAN
GENDER DALAM MUHAMMADIYAH
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai
kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya
(netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang
bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri harus
dibedakan antara kata gender
dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara laki - laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis.
dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara laki - laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis.
Sedangkan
gender adalah perbedaaan tingkahlaku antara laki-laki dan perempuan yang yang
terbentuk secara sosial. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan
melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya seperti apa yang telah
kita ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,
emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat
feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan
dan perkasa dan disebut bersifat maskulin.
Dalam
pandangan Islam terutama Muhammadiyah, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu
sebagai hamba dan sebagai representatif Tuhan (khalifah), tanpa membedakan
jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13), yaitu:
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supayakamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
MahaMengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)
Pengertian
Gender
Gender
adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini
adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya
sesuatu yang bersifat kodrati.
Dalam
pandangan Islam terutama Muhammadiyah, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu
sebagai hamba dan sebagai representatif Tuhan (khalifah), tanpa membedakan
jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13),
yaitu:Yang artinya :“
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supayakamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)
1. Persamaan
Gender dalam keluarga
Keluarga
adalah tempat terpenting bagi seseorang karena merupakan tempat pendidikan
yang pertama kali, dan di dalam keluarga pula
seseorang paling banyak bergaul serta mengenal kehidupan. kedudukan yang
terpenting bagi perempuan dalam keluarga adalah sebagai istri dan ibu yang
mengatur jalannya rumah tangga serta memelihara anak
(Beechey 1986:126). Untuk menjalankan tugas sebagai istri dan ibu
perempuan diharapkan dapat memasak, menjahit, memelihara rumah serta
melahirkan. Sehubungan dengan tugas ini alangkah baiknya bila kedudukan
seorang istri di rumah
Sebaliknya,
menurut ideologi ini kedudukan laki-laki yang
terpenting dalam suatu keluarga
adalah sebagai seorang suami yang bertanggung jawab sebagai
pencari nafkah utama.
Karena
tugasnya sebagai pencari nafkah sering seorangsuami tidak peduli dan tidak mau
tahu dengan urusan rumah tangga, sebab dia merasa sudah memberi uang untuk
jalannya roda rumah tangga (Smith 1988:154).
Bila
melihat kondisi masyarakat pada saat ini, tampak konsep-konsep di atas sudah
agak bergeser. Banyak istri yang bekerja mencari nafkah di luar
rumah. Penghasilan istri
juga berfungsi menambah penghasilan. Istri yang bekerja mencari nafkah di luar rumah biasanya
harus mendapat persetujuan terlebih dulu dari suami. Pada umumnya hingga saat
ini meskipun istri bekerja, sang suami tetap tidak ingin bila posisi dan
penghasilan yang diperoleh istri melebihi sang suami
dan penghasilan suami tetap merupakan penghasilan
pokok bagi keluarga.
Di
samping istri bekerja mencari nafkah di luar rumah tanggung jawab urusan rumah
tangga tetap ada di pihak istri sehingga dapat dibayangkan beratnya beban
yang ditanggung oleh seorang istri bila ia bekerja di luar rumah, Meskipun
perempuan sudah dapat bekerja di luar rumah, pada saat ini masih tetap
tampak berlakunya konsep gender,
sebagai contoh istri yang bekerja masih harus
memperhitungkan perasaan suami dengan tidak mau meraih posisi yang lebih tinggi
dari suami sehingga sering mereka bekerja tanpa ambisi. Sering timbul dilema
bagi dirinya untuk memilih antara karier dan keluarga
2. Persamaan Gender dalam masyarakat
Dalam
sejarah (tarih) Islam, ternyata perempuan pada zaman Rasulullah saw dan
pada zaman Khulafa-al rasdidun sangat aktif terlibat dalam kegiatan
muamalah dan kegiatan kemasyarakatan pada umumnya. Bahkan perempuan ada
yang terlibat dalam peperangan sebagai perawat laskar yang cedera,
membakar semangat para laskah dengan nyanyian dan syair, seperti yang
dilakukan oleh Hindun istri Abu Sufyan.
Dalam
peperangan Yarmuk mereka mengendarai kuda sendiri mengejar serta menombak
musuh seperti yang dilakukan oleh Arqah binti Harits, Khaulah binti
Azwar, Bini Yazad al Kalbiah, Umm Sulaiyt, dan Umm Ammarah. Bahkan dalam
peperangan merebut Siprus, yaitu perang melintasi lautan pertama dalam
sejarah Islam yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sofyan banyak
melibatkan perempuan. Antara lain: Umm Haram binti Malham. Pasukan
perempuan ini ternyata tidak hanya sebagai perawat dan penyedia ari serta
makanan bagi suami dan anak-anak mereka, tetapi juga bagi seluruh orang
yang terlibat dalam peperangan itu.
Ajaran
Islam telah menempatkan perempuan sebagai partner yang sederajat dengan
laki-laki dalam mengemban amanah Allah SWT sebagai khalifah-Nya di muka bumi
ini. Kenyataan ini telah ditegaskan Allah dalam beberapa ayat dalam kitab Al
Qur’an. Sebagaimana dinyatakan dalam Surat An-Nisa ayat 1 berikut:
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
Dalam
Muhammadiyah Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan
berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal. Untuk
menjaga kesimbangan alam harus ada sesuatu yang berbeda, yang
masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu , dunia,
bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebagai
hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan
hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi
juga pada emosional dan hak serta kewajibannya masing-masing.
C.
PERAN PEREMPUAN MUHAMMADIYAH DALAM
KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Kepemimpinan
perempuan dalam memegang suatu kenegara meneurut pandangan Islam masih
merupakan persoalan yang kontroversial. Secara normative mayoritas ulama, baik
di kalangan Sunni maupun Syiah, pada umumnya menolak kepemimpinan perempuan
(Kepala Negara). Bagi ulama Sunni, syarat utama untuk menjadi seorang Khalifah
atau Kepala Negara selain alim, memiliki kapabilitas dan integritas moral, dari
keturunan Arab Quraisy, dan harus laki-laki. Demikian pula, para ulama Syiah
mempersyaratkan keharusan laki-laki dan keturunan ahlul bait Rasulullah (anak
keturunan Fatimah putri Rasulullah dan Ali ibn Abi Thalib) untuk menduduki
jabatan Imam atau Kepala Negara. Berbicara pemimpin ada beberapa istilah baik
dalam al-Qur’an maupun al-Hadits seperti kullukum raa’in, al-rijaalu qowaamuun,
dan kholifah fil ard. Menurut Dr. Abd. Kholik Hasan, MA. M.Ed, pemimpin dalam
makna raa’in adalah bentuk mutlaq (umum) bahwa dalam hadits didahului dengan
kata kullukum (setiap), artinya setiap manusia adalah pemimpin dalam arti
memiliki tanggung jawab baik laki-laki maupun perempuan.
Sedikitnya ada tiga dalil naqli yang biasanya dijadikan sebagai landasan bagi kalangan ulama untuk menolak kepemimpinan politik perempuan.
Sedikitnya ada tiga dalil naqli yang biasanya dijadikan sebagai landasan bagi kalangan ulama untuk menolak kepemimpinan politik perempuan.
Pertama, Al Quran surah Al Ahzab ayat 33: “Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”. Adapun penjalasan ayat diatas menunjukkan agar
isteri-isteri Rasul tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang
dibenarkan oleh syara'. perintah Ini juga meliputi segenap mukminat. Adapun
yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat
sebelum nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah
Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam. Sedangkan, Ahlul
bait di sini, yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w. Hal ini menunjukan penegasan bahwa tempat
yang paling cocok bagi kaum perempuan adalah di rumah. Artinya, kaum perempuan
lebih pas untuk menggeluti urusan rumah tangga (domestic affairs) dan bukan
berada di ruang publik (public affairs) seperti menjadi pemimpin politik.
Pandangan ini diperkuat oleh sebuah Hadits yang menyebutkan bahwa Allah telah
menempatkan empat rumah bagi seorang perempuan, yaitu: (1) rahim ibu, (2) rumah
orang tua sampai ia menikah, (3) rumah keluarga bersama suami dan anakanaknya,
serta (4) di dalam kubur (Subhan, 2004: 43).
Kedua, Al Quran surah An Nisa ayat 34, yang artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memeliharamereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Mengenai QS An Nisa ayat 34 di atas, para mufasir modern, menurut Ilyas (2002: 68-69), umumnya berpendapat bahwa ayat tersebut hanya terkait dengan otoritas kepemimpinan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga, yakni sebagai suami bagi sang istri dan ayah bagi anak-anaknya, serta bukan dalam konteks jabatan kepala negara atau kepemimpinan politik. Otoritas kepemimpinan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga terlihat dari kewajiban suami untuk menasihati, pisah ranjang dan menjatuhkan sanksi pukulan terhadap istrinya yang melakukan nusyuz (pembangkangan atau tidak taat dalam perkara yang baik). Alasan yang dipakai oleh QS An Nisa ayat 34 itu guna menjawab pertanyaan mengapa laki-laki menjadi pemimpin dalam kehidupan rumah tangga, ialah:
Mengenai QS An Nisa ayat 34 di atas, para mufasir modern, menurut Ilyas (2002: 68-69), umumnya berpendapat bahwa ayat tersebut hanya terkait dengan otoritas kepemimpinan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga, yakni sebagai suami bagi sang istri dan ayah bagi anak-anaknya, serta bukan dalam konteks jabatan kepala negara atau kepemimpinan politik. Otoritas kepemimpinan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga terlihat dari kewajiban suami untuk menasihati, pisah ranjang dan menjatuhkan sanksi pukulan terhadap istrinya yang melakukan nusyuz (pembangkangan atau tidak taat dalam perkara yang baik). Alasan yang dipakai oleh QS An Nisa ayat 34 itu guna menjawab pertanyaan mengapa laki-laki menjadi pemimpin dalam kehidupan rumah tangga, ialah:
(1) karena
kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki,
(2) karena kewajiban
laki-laki untuk memberi nafkah kepada keluarganya (istri dan anak-anaknya).
Ditambahkan menurut Dr. Abd. Kholik Hasan, MA. M.Ed, bahwa pemimpin dalam kata
qowaamun ini lebih dari sekedar tanggung jawab, dan memiliki makna masytarak
artinya memiliki banyak makna (ijtihadi) dikalangan ulama. Yaitu tanggung jawab
dalam keluarga. Qowaamun yang berasal dari kata qiyaamun lebih identik dengan
kekuatan. Maksudnya laki-laki menjadi pemimpin keluarga ialah karena kekuatan,
atau lebih ahli dari perempuan. Memang para ulama, dalam hal kekuasaan
berpendapat bahwa perempuan tidak bias memimpin suatu Negara, tetapi hal ini
bukan berarti menghalangi perempuan untuk mempin suatu Negara.
Ketiga, hadits nabi riwayat Abu Bakrah yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, yang artinya: “tidak mungkin beruntung (jaya) suatu masyarakat yang menguasakan urusan mereka kepada seorang perempuan” (Sahih Bukhari). Hadits inilah yang digunakan sebagai rujukan oleh sebagian besar ulama Salaf untuk mensyaratkan keharusan memilih laki-laki sebagai kepala negara atau pemimpin politik, sekaligus untuk menegaskan haram hukumnya bagi perempuan untuk menempati kedudukan sebagai kepala negara. Sebagai contoh, Imam Al Syaukani ketika menafsirkan hadits ini berpendapat bahwa wanita tidak termasuk kategori ahli dalam hal kepemimpinan sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Al Khattabi menyatakan bahwa seorang wanita tidak sah menjadi seorang khalifah atau kepala negara. Al Ghazali dan Ibnu Hazm mengharuskan laki-laki sebagai syarat menjadi kepala Negara (Muhibbin, 1996: 75).
Hadits ini memang kerap dipahami secara tekstual tanpa melihat asbab al wurud-nya. Padahal hadits ini bersifat kasuistik dan tidak dapat digeneralisasi begitu saja. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits tersebut melengkapi kisah Raja Persia, Kisra, yang merobek surat Nabi Muhammad. Belakangan Raja Kisra mati dibunuh oleh anak laki lakinya. Berikutnya, anak laki-laki tersebut mati diracun oleh saudaranya, sampai akhirnya kekuasaan dipegang oleh seorang raja perempuan, Baruan binti Syiruayah ibnu Kisra. Namun, tidak lama kemudian kekuasaan raja perempuan tersebut hancur berantakan (Subhan, 2004: 44-45).
Menurut Ash Shabuni, seorang ulama Sunni modern, kepemimpinan laki-laki dalam urusan rumah tangga bermula dari kelebihan intelektual yang dimiliki oleh laki-laki, kemampuan laki-laki dalam mengelola rumah tangga, kemampuan mencari nafkah dan membiayai rumah tangganya lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Adapun ulama Syiah modern, Thaba’thaba’i, berpendapat bahwa laki-laki memiliki kelebihan intelektual dibandingkan dengan perempuan, yang karena kelebihan itu laki-laki lebih tabah dan tahan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Kebalikannya, kehidupan perempuan lebih menonjol segi emosionalitasnya yang dibangun di atas landasan sifat kelembutan dan kehalusannya (Ilyas, 2002: 69).
Dengan demikian, baik hadits riwayat Abu Bakrah maupun QS An Nisa ayat 34 harus dipahami sebagai anjuran dan bukan keharusan bahwa kepemimpinan negara wajib berada di tangan laki-laki. Secara tekstual kurang tepat keduanya dijadikan sebagai dalil yang melarang perempuan tampil menjadi pemimpin negara. Persyaratan yang harusnya terpenuhi, baik bagi laki-laki maupun perempuan yang ingin tampil menjadi pemimpin negara, terutama adalah kapabilitas dan integritas moral yang harus dimiliki.
Pandangan Muhammadiyah atas Kepemimpinan Perempuan
Dahulu kala di kalangan partai politik Islam, PPP dapat dinilai yang paling keras dan serius menentang serta menolak Megawati Soekarnoputri untuk tampil menjadi kandidat presiden menggantikan Habibie. Alasan yang kerap dipakai oleh para tokoh PPP, terutama Hamzah Haz dan Zarkasih Noor, adalah karena Megawati seorang perempuan, sedangkan sebagian besar ulama Islam mengharamkan perempuan tampil sebagai kepala negara (Suharsono, 1999: 54) Akan tetapi, PPP pula yang paling tidak konsisten. Pada waktu Presiden Gus Dur dilengserkan oleh MPR dalam Sidang Istimewa (SI) bulan Juli 2001 dan kemudian MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Gus Dur, PPP menyetujui. Bahkan Ketua Umum PPP, Hamzah Haz, terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi Megawati melalui tiga tahapan voting dengan mengalahkan calon lain, seperti Akbar Tanjung, Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, dan Siswono Yudhohusodo.
Bagaimana pandangan Muhammadiyah mengenai kepemimpinan perempuan, terutama dengan tampilnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI sejak bulan Juli 2001, tampaknya tidak ada kesatuan pandangan di kalangan para tokohnya. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrahman, salah seorang tokoh penting Muhammadiyah yang aktif di Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, diberitakan Ia mengharamkan calon presiden perempuan Sebenarnya pendapat tersebut berangkat dari pemahaman beliau bahwa calon yang dimaksud (Megawati Soekarnoputri) memang kurang kapabel dan kredibel. Tokoh Muhammadiyah lain, Prof. Dr. Azyumardi Azra memandang bahwa persoalan kepemimpinan (khususnya untuk jabatan kepala negara) di Indonesia sebenarnya tidak perlu mempertentangkan soal gender, tetapi yang lebih penting adalah aspek kualitas. Preseden historisnya di Indonesia cukup banyak perempuan yang tampil sebagai pemimpin politik dan kepala negara. Azra (dalam Parianom dan Dondy Ariedianto, eds., 1999: 113) mencontohkan kasus Kesultanan Aceh, di mana terdapat empat orang perempuan yang tampil menjadi Sultanah di Aceh dan mereka memerintah dalam waktu yang lama (1641-1699 M) serta mendapatkan dukungan yang cukup dari para ulama. Keempat Sultanah Aceh tersebut adalah: 1. Sultanah Safi’atuddin (memerintah 1641-1675), 2. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1677), 3. Sultanah Inayah Zakiatuddin Syah (1677-1688), dan 4. Sultanah Kamal Zainatuddin Syah (1688-1699).
Lebih jauh, Azra menyebutkan bahwa dalam kasus empat Sultanah di Aceh tersebut, para ulama Aceh tidak terlalu mempersoalkan aspek gender tetapi lebih mempertimbangkan aspek kualifikasi. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, ulama Aceh paling terkemuka dari abad ke-17 M, dalam kitabnya, Bustanus Salatin, menjelaskan bahwa setiap penguasa (entah laki-laki ataupun perempuan) harus memenuhi kualifikasi: sifat-sifat yang terpuji, tingkah laku kebajikan, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta sangat taat kepada Allah dan komitmen menegakkan syariat Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw. (Azra, 1999: 115).
Yunahar Ilyas, salah satu tokoh penting Muhammadiyah yang aktif di Majelis Tabligh, memiliki pandangan yang sudah sangat maju mengenai kepemimpinan perempuan. Menurut Ilyas (2002: 71-72), dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu ayat pun di dalam Al Quran yang secara eksplisit melarang perempuan tampil menjadi kepala negara atau kepemimpinan publik lainnya. Kepemimpinan publik merupakan bagian dari ajaran Islam yang luas, dan bukan termasuk ibadah mahdhah. Sehubungan dengan itu, dalam soal kepemimpinan publik termasuk di dalamnya kepemimpinan negara, kaidah (hukum fiqh) yang berlaku adalah “semuanya boleh kecuali bila ada dalil yang melarangnya”. Dalam pandangan Ilyas, menggunakan QS An Nisa ayat 34 sebagai dalil untuk melarang perempuan tampil menjadi pemimpin negara, kepala negara, atau pemimpin publik lainnya tidak tepat. Hal itu karena ayat tersebut secara khusus hanya berbicara soal kepemimpinan dalam konteks rumah tangga. Di samping itu, jika dipakai logika terbalik bahwa untuk memimpin rumah tangga saja perempuan tidak mempunyai hak, apalagi untuk memimpin negara, logika seperti ini pun tidak dapat diterima karena bertentangan dengan QS An Nisa ayat 71. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan beriman (hendaknya) tolong-menolong dan pimpin-memimpin dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Logika tersebut juga bertentangan dengan realitas sosial yang terjadi pada zaman sahabat, misalnya tatkala istri Nabi, Aisyah, memimpin Perang Jamal.
Buya Syafii, merupakan tokoh yang sangat concern dan malahan mendorong kaum perempuan untuk terjun dan terlibat secara aktif dalam kepemimpinan politik. Menurut beliau, dalam konteks kehidupan politik, keberadaan perempuan tidak mungkin dinafikan bila ingin mencapai peradaban yang manusiawi. Artinya, dalam sistem dan proses politik yang dibangun khususnya oleh bangsa Indonesia, perempuan harus senantiasa dilibatkan atau terlibat secara demokratis (lihat dalam Suara Muhammadiyah, No. 07, Th. Ke-88, 11-15 April 2003: 11). Menurut Buya Syafii (dalam Suara Muhammadiyah, No. 07, th.ke-88, 1-15 April 2003: 38-39), realitas sosial-politik yang membuat keberadaan perempuan terpinggirkan dalam percaturan politik lebih disebabkan oleh masalah kultural dan penafsiran ajaran agama (baca: Islam). Yang dimaksud masalah kultural adalah budaya patriarkhat yang masih mendominasi bangsa Indonesia, kendatipun mayoritas muslim. Adapun dari perspektif agama, prinsip kesetaraan gender didukung sepenuhnya oleh Al Quran, At Taubah ayat 71, yang secara gamblang menegaskan tentang adanya kesetaraan gender dalam ruang lingkup pergaulan yang luas. QS At Taubah ayat 71 menegaskan (artinya): “Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, mereka adalah penolong terhadap satu sama lain; mereka menyuruh berbuat baik dan melarang perbuatan jahat; mereka dirikan shalat, bayarkan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka akan mendapat rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah itu gagah, bijaksana.”
Islam sebetulnya sarat dengan pesan kesetaraan gender dan keadilan bagi kehidupan umat manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin. Yang terjadi selama ini ada semacam kekeliruan dan penafsiran yang terlalu subjektif terhadap ajaran agama (Islam) sehingga lebih menguntungkan kaum laki-laki, dan sebaliknya merugikan kaum perempuan. Dalam pandangan Asep Purnama Bahtiar, Ketua Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, keterlibatan politik perempuan yang semakin meningkat di tanah air merupakan sebuah tuntutan keniscayaan. Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dilihat dari segi komposisi penduduk Indonesia di mana jumlah perempuan (51 %) lebih besar daripada laki-laki (49 %) sehingga wajar bila keterlibatan perempuan dalam politik semakin besar. Kedua, keterlibatan kaum perempuan dalam panggung politik menjadi bagian atau unsur yang signifikan dari demokrasi.sebab demokrasi bersifat inklusif, anti-diskriminasi, dan tidak bias gender. Ketiga, secara historis semangat dan cita-cita perjuangan kemerdekaan di tanah air juga dibangkitkan oleh kaum perempuan, melalui peran tokoh perempuan seperti Kartini dan Dewi Sartika (Bahtiar, dalam Suara Muhammadiyah, No. 07 th. K-88, 1-15 April 2003: 34).
Secara kelembagaan, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid tidak pernah memandang bahwa perempuan haram untuk tampil dalam kepemimpinan publik, termasuk dalam kepemimpinan politik. Artinya, Muhammadiyah menganut prinsip kesetaraan gender sebagaimana diatur di dalam kitab suci Al Quran. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak pernah menolak kepemimpinan perempuan, seperti tampilnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI dalam SI MPR bulan Juli 2001 menggantikan Presiden Gus Dur.
Pandangan Muhammaditah tentang Khilafah
Islam adalah system yang sempurna karena di dalamnya terdapat segala aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar sesame manusia, seperti social, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan system yang khas bagi pemerintahan, Islam juga telah menetapkan system yang khas untuk mengelolah bagi pemerintahan. Yaitu Negara Islam, Negara yang bersifat politis, yang disebut dengan Daulah Khilafah.
Para ahli fiqih mendefinisikan khilafah sebagai “Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, dengan kata lain, yaitu kepemimpinan umum bagi ummat Islam secara keseluruhan di dunia, untuk menegakkan hokum-hukum syara dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia” .Adapun dalilnya ialah sabdah Nabi Saw ‘Aku meninggalkan bagi kalian sesuatu yang apabila kalian pegang teguh kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah. Hadits ini dimaknai bahwa Nabi ialah seorang Rasul dan juga kepala Negara, dan meneladani beliau sebagai kepala Negara ialah kewajiban. Sedangkan perbuatan beliau sebagai kepala Negara salah satu sunnah (Husain, 2002: 118).
Mengkaji khilafah yang perlu dipengang yang paling utama adalah bahwa ini ialah persoalan yang bersifat ijtihadi di kalangan ulama’. Bukan masalah yang menjadi pokok agama. Menurut Dr. Hasan El-Qudsi pakar tafsir muda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada yang menjelaskan tentang bentuk Negara Islam, yang ada ialah Negara Islami. Bagaimanakan Negara Islami itu? Yaitu Negara yang menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari baik dalam masalah agama maupun dunia. Menurut beliau, konsep demokrasi di Indonesia tidak perlu dengan nama Khilafah, demokrasi cukup demodifikasi sedikit saja dengan syariat Islam sudah benar. Demokrasi hanya masalah penafsiran saja, kalau dimaknai kafir karena menuhankan rakyat ya jelas tidak benar. Tetapi, manakala system demokrasi yang sesuai dengan syariat Islam kan lebih baik. Meskipun namanya bukan Negara Islam (khilafah Islamiyah), tidaklah menjadi masalah yang penting adalah masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari mempergunakan konsep Islam.
Konsep Negara bisa dilihat dalam kitab Asyiyasah Islamiyah karangan Dr. Yusuf Qardhowi, yang banyak pikirannya menjadi rujukan majelis tarjih karena merupanan “Ulama Moderat. Menurut Qardhowi Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang hanya menerapkan syari'at Islam pada bidang hukum saja, terutama di bidang pidana dan perdata sebagaimana difahami oleh mayoritas ummat. Yang demikian ini merupakan pemikiran dan praktek yang juz'iyah (parsial), bahkan mengarah pada berbuat zhalim terhadap masyarakat, dengan memfokuskan seluruh potensi yang bermacam-macam dalam menegakkan satu pilar di antara banyak pilar yaitu hukum, dan bahkan dalam satu bidang saja dari hukum tersebut yaitu pidana atau perdata. Yang juga patut kita beri perhatian dalam usaha perbaikan masyarakat ialah mendahulukan segala hal yang berkaitan dengan pelurusan pemikiran, cara pandang, dan cara bertindak mereka. Tidak diragukan lagi bahwa kita memerlukan suatu landasan yang sangat kuat untuk melakukan perbaikan di dalam masyarakat. Karena sangat tidak masuk akal, bahwa amal perbuatan dapat meniti jalan yang benar, kalau pemikirannya tidak lurus.
BAgaimana pandangan Muhammadiyah? Sistem Negara dalam Myhammadiyah dituangkan dalam Khittah Perjuangan dalam Kehidupan Bernegara (Khittah Dempasar 2002), menjelaskan Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keya¬kinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur”.
Bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pember¬da¬yaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).
Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang berkedaulatan rakyat. Peran kemasyarakatan tersebut dilakukan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti halnya Muhammadiyah. Sedangkan perjuangan untuk meraih kekuasaaan (power struggle) ditujukan untuk membentuk pemerintahan dalam mewujudkan tujuan negara, yang peranannya secara formal dan langsung dilakukan oleh partai politik dan institusi-institusi politik negara melalui sistem politik yang berlaku. Kedua peranan tersebut dapat dijalankan secara objektif dan saling terkait melalui bekerjanya sistem politik yang sehat oleh seluruh kekuatan nasional menuju terwujudnya tujuan negara.
Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat). Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.
Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengem¬¬¬bangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban. Memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Ketiga, hadits nabi riwayat Abu Bakrah yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, yang artinya: “tidak mungkin beruntung (jaya) suatu masyarakat yang menguasakan urusan mereka kepada seorang perempuan” (Sahih Bukhari). Hadits inilah yang digunakan sebagai rujukan oleh sebagian besar ulama Salaf untuk mensyaratkan keharusan memilih laki-laki sebagai kepala negara atau pemimpin politik, sekaligus untuk menegaskan haram hukumnya bagi perempuan untuk menempati kedudukan sebagai kepala negara. Sebagai contoh, Imam Al Syaukani ketika menafsirkan hadits ini berpendapat bahwa wanita tidak termasuk kategori ahli dalam hal kepemimpinan sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Al Khattabi menyatakan bahwa seorang wanita tidak sah menjadi seorang khalifah atau kepala negara. Al Ghazali dan Ibnu Hazm mengharuskan laki-laki sebagai syarat menjadi kepala Negara (Muhibbin, 1996: 75).
Hadits ini memang kerap dipahami secara tekstual tanpa melihat asbab al wurud-nya. Padahal hadits ini bersifat kasuistik dan tidak dapat digeneralisasi begitu saja. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits tersebut melengkapi kisah Raja Persia, Kisra, yang merobek surat Nabi Muhammad. Belakangan Raja Kisra mati dibunuh oleh anak laki lakinya. Berikutnya, anak laki-laki tersebut mati diracun oleh saudaranya, sampai akhirnya kekuasaan dipegang oleh seorang raja perempuan, Baruan binti Syiruayah ibnu Kisra. Namun, tidak lama kemudian kekuasaan raja perempuan tersebut hancur berantakan (Subhan, 2004: 44-45).
Menurut Ash Shabuni, seorang ulama Sunni modern, kepemimpinan laki-laki dalam urusan rumah tangga bermula dari kelebihan intelektual yang dimiliki oleh laki-laki, kemampuan laki-laki dalam mengelola rumah tangga, kemampuan mencari nafkah dan membiayai rumah tangganya lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Adapun ulama Syiah modern, Thaba’thaba’i, berpendapat bahwa laki-laki memiliki kelebihan intelektual dibandingkan dengan perempuan, yang karena kelebihan itu laki-laki lebih tabah dan tahan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Kebalikannya, kehidupan perempuan lebih menonjol segi emosionalitasnya yang dibangun di atas landasan sifat kelembutan dan kehalusannya (Ilyas, 2002: 69).
Dengan demikian, baik hadits riwayat Abu Bakrah maupun QS An Nisa ayat 34 harus dipahami sebagai anjuran dan bukan keharusan bahwa kepemimpinan negara wajib berada di tangan laki-laki. Secara tekstual kurang tepat keduanya dijadikan sebagai dalil yang melarang perempuan tampil menjadi pemimpin negara. Persyaratan yang harusnya terpenuhi, baik bagi laki-laki maupun perempuan yang ingin tampil menjadi pemimpin negara, terutama adalah kapabilitas dan integritas moral yang harus dimiliki.
Pandangan Muhammadiyah atas Kepemimpinan Perempuan
Dahulu kala di kalangan partai politik Islam, PPP dapat dinilai yang paling keras dan serius menentang serta menolak Megawati Soekarnoputri untuk tampil menjadi kandidat presiden menggantikan Habibie. Alasan yang kerap dipakai oleh para tokoh PPP, terutama Hamzah Haz dan Zarkasih Noor, adalah karena Megawati seorang perempuan, sedangkan sebagian besar ulama Islam mengharamkan perempuan tampil sebagai kepala negara (Suharsono, 1999: 54) Akan tetapi, PPP pula yang paling tidak konsisten. Pada waktu Presiden Gus Dur dilengserkan oleh MPR dalam Sidang Istimewa (SI) bulan Juli 2001 dan kemudian MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Gus Dur, PPP menyetujui. Bahkan Ketua Umum PPP, Hamzah Haz, terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi Megawati melalui tiga tahapan voting dengan mengalahkan calon lain, seperti Akbar Tanjung, Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, dan Siswono Yudhohusodo.
Bagaimana pandangan Muhammadiyah mengenai kepemimpinan perempuan, terutama dengan tampilnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI sejak bulan Juli 2001, tampaknya tidak ada kesatuan pandangan di kalangan para tokohnya. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrahman, salah seorang tokoh penting Muhammadiyah yang aktif di Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, diberitakan Ia mengharamkan calon presiden perempuan Sebenarnya pendapat tersebut berangkat dari pemahaman beliau bahwa calon yang dimaksud (Megawati Soekarnoputri) memang kurang kapabel dan kredibel. Tokoh Muhammadiyah lain, Prof. Dr. Azyumardi Azra memandang bahwa persoalan kepemimpinan (khususnya untuk jabatan kepala negara) di Indonesia sebenarnya tidak perlu mempertentangkan soal gender, tetapi yang lebih penting adalah aspek kualitas. Preseden historisnya di Indonesia cukup banyak perempuan yang tampil sebagai pemimpin politik dan kepala negara. Azra (dalam Parianom dan Dondy Ariedianto, eds., 1999: 113) mencontohkan kasus Kesultanan Aceh, di mana terdapat empat orang perempuan yang tampil menjadi Sultanah di Aceh dan mereka memerintah dalam waktu yang lama (1641-1699 M) serta mendapatkan dukungan yang cukup dari para ulama. Keempat Sultanah Aceh tersebut adalah: 1. Sultanah Safi’atuddin (memerintah 1641-1675), 2. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1677), 3. Sultanah Inayah Zakiatuddin Syah (1677-1688), dan 4. Sultanah Kamal Zainatuddin Syah (1688-1699).
Lebih jauh, Azra menyebutkan bahwa dalam kasus empat Sultanah di Aceh tersebut, para ulama Aceh tidak terlalu mempersoalkan aspek gender tetapi lebih mempertimbangkan aspek kualifikasi. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, ulama Aceh paling terkemuka dari abad ke-17 M, dalam kitabnya, Bustanus Salatin, menjelaskan bahwa setiap penguasa (entah laki-laki ataupun perempuan) harus memenuhi kualifikasi: sifat-sifat yang terpuji, tingkah laku kebajikan, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta sangat taat kepada Allah dan komitmen menegakkan syariat Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw. (Azra, 1999: 115).
Yunahar Ilyas, salah satu tokoh penting Muhammadiyah yang aktif di Majelis Tabligh, memiliki pandangan yang sudah sangat maju mengenai kepemimpinan perempuan. Menurut Ilyas (2002: 71-72), dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu ayat pun di dalam Al Quran yang secara eksplisit melarang perempuan tampil menjadi kepala negara atau kepemimpinan publik lainnya. Kepemimpinan publik merupakan bagian dari ajaran Islam yang luas, dan bukan termasuk ibadah mahdhah. Sehubungan dengan itu, dalam soal kepemimpinan publik termasuk di dalamnya kepemimpinan negara, kaidah (hukum fiqh) yang berlaku adalah “semuanya boleh kecuali bila ada dalil yang melarangnya”. Dalam pandangan Ilyas, menggunakan QS An Nisa ayat 34 sebagai dalil untuk melarang perempuan tampil menjadi pemimpin negara, kepala negara, atau pemimpin publik lainnya tidak tepat. Hal itu karena ayat tersebut secara khusus hanya berbicara soal kepemimpinan dalam konteks rumah tangga. Di samping itu, jika dipakai logika terbalik bahwa untuk memimpin rumah tangga saja perempuan tidak mempunyai hak, apalagi untuk memimpin negara, logika seperti ini pun tidak dapat diterima karena bertentangan dengan QS An Nisa ayat 71. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan beriman (hendaknya) tolong-menolong dan pimpin-memimpin dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Logika tersebut juga bertentangan dengan realitas sosial yang terjadi pada zaman sahabat, misalnya tatkala istri Nabi, Aisyah, memimpin Perang Jamal.
Buya Syafii, merupakan tokoh yang sangat concern dan malahan mendorong kaum perempuan untuk terjun dan terlibat secara aktif dalam kepemimpinan politik. Menurut beliau, dalam konteks kehidupan politik, keberadaan perempuan tidak mungkin dinafikan bila ingin mencapai peradaban yang manusiawi. Artinya, dalam sistem dan proses politik yang dibangun khususnya oleh bangsa Indonesia, perempuan harus senantiasa dilibatkan atau terlibat secara demokratis (lihat dalam Suara Muhammadiyah, No. 07, Th. Ke-88, 11-15 April 2003: 11). Menurut Buya Syafii (dalam Suara Muhammadiyah, No. 07, th.ke-88, 1-15 April 2003: 38-39), realitas sosial-politik yang membuat keberadaan perempuan terpinggirkan dalam percaturan politik lebih disebabkan oleh masalah kultural dan penafsiran ajaran agama (baca: Islam). Yang dimaksud masalah kultural adalah budaya patriarkhat yang masih mendominasi bangsa Indonesia, kendatipun mayoritas muslim. Adapun dari perspektif agama, prinsip kesetaraan gender didukung sepenuhnya oleh Al Quran, At Taubah ayat 71, yang secara gamblang menegaskan tentang adanya kesetaraan gender dalam ruang lingkup pergaulan yang luas. QS At Taubah ayat 71 menegaskan (artinya): “Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, mereka adalah penolong terhadap satu sama lain; mereka menyuruh berbuat baik dan melarang perbuatan jahat; mereka dirikan shalat, bayarkan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka akan mendapat rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah itu gagah, bijaksana.”
Islam sebetulnya sarat dengan pesan kesetaraan gender dan keadilan bagi kehidupan umat manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin. Yang terjadi selama ini ada semacam kekeliruan dan penafsiran yang terlalu subjektif terhadap ajaran agama (Islam) sehingga lebih menguntungkan kaum laki-laki, dan sebaliknya merugikan kaum perempuan. Dalam pandangan Asep Purnama Bahtiar, Ketua Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, keterlibatan politik perempuan yang semakin meningkat di tanah air merupakan sebuah tuntutan keniscayaan. Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dilihat dari segi komposisi penduduk Indonesia di mana jumlah perempuan (51 %) lebih besar daripada laki-laki (49 %) sehingga wajar bila keterlibatan perempuan dalam politik semakin besar. Kedua, keterlibatan kaum perempuan dalam panggung politik menjadi bagian atau unsur yang signifikan dari demokrasi.sebab demokrasi bersifat inklusif, anti-diskriminasi, dan tidak bias gender. Ketiga, secara historis semangat dan cita-cita perjuangan kemerdekaan di tanah air juga dibangkitkan oleh kaum perempuan, melalui peran tokoh perempuan seperti Kartini dan Dewi Sartika (Bahtiar, dalam Suara Muhammadiyah, No. 07 th. K-88, 1-15 April 2003: 34).
Secara kelembagaan, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid tidak pernah memandang bahwa perempuan haram untuk tampil dalam kepemimpinan publik, termasuk dalam kepemimpinan politik. Artinya, Muhammadiyah menganut prinsip kesetaraan gender sebagaimana diatur di dalam kitab suci Al Quran. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak pernah menolak kepemimpinan perempuan, seperti tampilnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI dalam SI MPR bulan Juli 2001 menggantikan Presiden Gus Dur.
Pandangan Muhammaditah tentang Khilafah
Islam adalah system yang sempurna karena di dalamnya terdapat segala aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar sesame manusia, seperti social, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan system yang khas bagi pemerintahan, Islam juga telah menetapkan system yang khas untuk mengelolah bagi pemerintahan. Yaitu Negara Islam, Negara yang bersifat politis, yang disebut dengan Daulah Khilafah.
Para ahli fiqih mendefinisikan khilafah sebagai “Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, dengan kata lain, yaitu kepemimpinan umum bagi ummat Islam secara keseluruhan di dunia, untuk menegakkan hokum-hukum syara dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia” .Adapun dalilnya ialah sabdah Nabi Saw ‘Aku meninggalkan bagi kalian sesuatu yang apabila kalian pegang teguh kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah. Hadits ini dimaknai bahwa Nabi ialah seorang Rasul dan juga kepala Negara, dan meneladani beliau sebagai kepala Negara ialah kewajiban. Sedangkan perbuatan beliau sebagai kepala Negara salah satu sunnah (Husain, 2002: 118).
Mengkaji khilafah yang perlu dipengang yang paling utama adalah bahwa ini ialah persoalan yang bersifat ijtihadi di kalangan ulama’. Bukan masalah yang menjadi pokok agama. Menurut Dr. Hasan El-Qudsi pakar tafsir muda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada yang menjelaskan tentang bentuk Negara Islam, yang ada ialah Negara Islami. Bagaimanakan Negara Islami itu? Yaitu Negara yang menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari baik dalam masalah agama maupun dunia. Menurut beliau, konsep demokrasi di Indonesia tidak perlu dengan nama Khilafah, demokrasi cukup demodifikasi sedikit saja dengan syariat Islam sudah benar. Demokrasi hanya masalah penafsiran saja, kalau dimaknai kafir karena menuhankan rakyat ya jelas tidak benar. Tetapi, manakala system demokrasi yang sesuai dengan syariat Islam kan lebih baik. Meskipun namanya bukan Negara Islam (khilafah Islamiyah), tidaklah menjadi masalah yang penting adalah masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari mempergunakan konsep Islam.
Konsep Negara bisa dilihat dalam kitab Asyiyasah Islamiyah karangan Dr. Yusuf Qardhowi, yang banyak pikirannya menjadi rujukan majelis tarjih karena merupanan “Ulama Moderat. Menurut Qardhowi Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang hanya menerapkan syari'at Islam pada bidang hukum saja, terutama di bidang pidana dan perdata sebagaimana difahami oleh mayoritas ummat. Yang demikian ini merupakan pemikiran dan praktek yang juz'iyah (parsial), bahkan mengarah pada berbuat zhalim terhadap masyarakat, dengan memfokuskan seluruh potensi yang bermacam-macam dalam menegakkan satu pilar di antara banyak pilar yaitu hukum, dan bahkan dalam satu bidang saja dari hukum tersebut yaitu pidana atau perdata. Yang juga patut kita beri perhatian dalam usaha perbaikan masyarakat ialah mendahulukan segala hal yang berkaitan dengan pelurusan pemikiran, cara pandang, dan cara bertindak mereka. Tidak diragukan lagi bahwa kita memerlukan suatu landasan yang sangat kuat untuk melakukan perbaikan di dalam masyarakat. Karena sangat tidak masuk akal, bahwa amal perbuatan dapat meniti jalan yang benar, kalau pemikirannya tidak lurus.
BAgaimana pandangan Muhammadiyah? Sistem Negara dalam Myhammadiyah dituangkan dalam Khittah Perjuangan dalam Kehidupan Bernegara (Khittah Dempasar 2002), menjelaskan Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keya¬kinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur”.
Bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pember¬da¬yaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).
Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang berkedaulatan rakyat. Peran kemasyarakatan tersebut dilakukan oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti halnya Muhammadiyah. Sedangkan perjuangan untuk meraih kekuasaaan (power struggle) ditujukan untuk membentuk pemerintahan dalam mewujudkan tujuan negara, yang peranannya secara formal dan langsung dilakukan oleh partai politik dan institusi-institusi politik negara melalui sistem politik yang berlaku. Kedua peranan tersebut dapat dijalankan secara objektif dan saling terkait melalui bekerjanya sistem politik yang sehat oleh seluruh kekuatan nasional menuju terwujudnya tujuan negara.
Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat). Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.
Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengem¬¬¬bangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban. Memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Demikianlah dapat
disimpulkan bahwa Muhammadiyah, baik secara perorangan melalui tokoh-tokoh
penting organisasi maupun secara kelembagaan tidak mempersoalkan keterlibatan
atau tampilnya perempuan dalam kepemimpinan publik, khususnya kepemimpinan
politik. Hal ini dikarenakan dalam corak pemikiran politik, Muhammadiyah
cenderung bersifat substansialistik, bukan formalitistik ataupun
fundamentalistik. Ketika Megawati Soekarnoputri tampil menjadi Presiden RI,
Muhammadiyah melalui para tokohnya seperti Asjmuni Abdurrahman dan Azyumardi
Azra, tidak mengkritik aspek gender-nya tetapi lebih mempersoalkan aspek
kualitasnya.
Kemudian pemikiran Muhammadiyah tentang khilafah Islam Muhammadiyah lebih mengitilahkan dengan Negara Islami yaitu dyang disebut dengan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: “BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR”. Muhammadiyah memilih dua jalur perjuangan dalam membentuk Negara Islami yayaitu Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pember¬da¬yaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force).
Jadi sekali lagi, bahwa untuk mewujudkan Negara Islami Muhammadiyah tetap istiqomah sebagai Gerakan Islam, Dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan Tajdid dalam berjuang terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Karena membentuk Negara Islami membutuhkan wakktu yang tidak singkat, yaitu dimulai dari perbaikan masyarakat. Jika masyarakatnya sudah Islami maka otomatis negaranya adalah Islam. Tugas kita sekarang adalah yang terpenting adalah mempersiapkan masyarakat Islam melalui dakwah yang cerdas dan pendidikan, sehingga tidak langsung serampangan tiba-tiba khilafah. Sekali lagi jangan terjebak pada lebel, membentuk masyarakat Islam (Negara Islami) lebih utama dibanding lebel Negara Islam.
Kemudian pemikiran Muhammadiyah tentang khilafah Islam Muhammadiyah lebih mengitilahkan dengan Negara Islami yaitu dyang disebut dengan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: “BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR”. Muhammadiyah memilih dua jalur perjuangan dalam membentuk Negara Islami yayaitu Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pember¬da¬yaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force).
Jadi sekali lagi, bahwa untuk mewujudkan Negara Islami Muhammadiyah tetap istiqomah sebagai Gerakan Islam, Dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan Tajdid dalam berjuang terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Karena membentuk Negara Islami membutuhkan wakktu yang tidak singkat, yaitu dimulai dari perbaikan masyarakat. Jika masyarakatnya sudah Islami maka otomatis negaranya adalah Islam. Tugas kita sekarang adalah yang terpenting adalah mempersiapkan masyarakat Islam melalui dakwah yang cerdas dan pendidikan, sehingga tidak langsung serampangan tiba-tiba khilafah. Sekali lagi jangan terjebak pada lebel, membentuk masyarakat Islam (Negara Islami) lebih utama dibanding lebel Negara Islam.
B.Penutup
Dari tugas makalah
tersebut, banyak hal yang dapat kita pelajari. Seperti halnya yang sudah kami
harapkan dan sampaikan pada kata pengantar tugas makalah ini, yaitu semoga
dengan terselesaikannya makalah ini dapat menambah wawasan kita dan pemahaman
kita mengenai Muhammaddiyah dan pemberdayaan perempuan . Dan demikian makalah
yang dapat kami buat. Apabila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati atau
belum sesuai dengan apa yang Anda harapkan, kami mohon maaf. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun kami agar dalam tugas-tugas
selanjutnya,kami dapat menyelesaikannya dengan lebih baik lagi.
D.Daftar
Pustaka
2. sumberpengetahuanku.blogspot.co.id/2011/12/normal-o-false-false-en-us-x-none.html
3. moderat-reformis.blogspot.co.id/2011/06/muhammadiyah-kepemimpinan-perempuan-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar